Terkikisnya Makna Gotong Royong di Tengah Masyarakat

Jumat, 26 November 2010
Selama ini gotong royong dianggap sebagai kearifan lokal bangsa Indonesia yang diwariskan secara turun temurun di setiap generasi. Istilah gotong royong dapat dimaknai sebagai “bekerja bersama-sama dalam menyelesaikan pekerjaan dan secara bersama-sama menikmati hasil pekerjaan tersebut secara adil. Atau suatu usaha atau pekerjaan yang dilakukan tanpa pamrih dan secara sukarela oleh semua warga menurut batas kemampuannya masing-masing. Dengan kata lain gotong royong dapat dimaknai sebagai saling tolong menolong untuk mengerjakan sesuatu, khususnya sesuatu yang bermakna sosial.

Jika dilihat lebih dekat, dapat dikatakan bahwa gotong royong adalah manifestasi dari sifat dasar manusia yang dalam rentang sejarah filsafat umumnya disepakati sebagai mahkluk sosial. “mahkluk sosial yang serba butuh”

Dilihat dari sudut pandang agama, khususnya agama Islam, gotong royong adalah salah satu perwujudan dari nilai-nilai kemanusiaan dan kemasyarakatan yang dikandung oleh Islam.

Dengan melihat perbandingan antara makna denotatif gotong royong dengan sifat dasar manusia dan nilai-nilai yang dikandung oleh agama, tentu saja gotong royong adalah sebuah produk budaya yang pantas untuk dilestarikan. Tapi, dewasa ini makna gotong royong – khususnya bagi masyarakat kota – kian terkikis.

Proses pergeseran dan pengikisan makna gotong royong ini tak diragukan lagi memicu pertanyaan; apa yang menyebabkan hal ini sampai terjadi? Secara umum dapat dikatakan bahwa masyarakat kota semakin sibuk dengan urusan mereka masing-masing, jawaban ini ada benarnya, tapi menurut saya ada faktor-faktor lain yang membuat makna gotong royong kian terkikis.


Melalui analisa singkat diatas, dapat dilihat dengan lebih jernih mengapa masyarakat saat ini cenderung untuk memberi konotasi baru pada budaya gotong royong. Semakin mengguritanya kapitalisme telah membuat sebagian besar masyarakat larut dalam kompetisi dan melupakan semangat berbagi yang terkandung dalam gotong royong. Lebih jauh lagi, semangat kompetisi dan individualisasi yang dibawa oleh kapitalisme telah memitoskan gotong royong menjadi sesuatu yang tidak menyenangkan.


Gotong royong merupakan budaya bangsa Indonesia sejak dahulu. Gotong royong dapat dimaknai sebagai sebagai saling tolong menolong untuk mengerjakan sesuatu, khususnya sesuatu yang bermakna sosial. Lebih jauh lagi, gotong royong ini didasari oleh semangat kekeluargaan, sukarela dan tanpa pamrih.

Akhirnya dapat disimpulkan bahwa kapitalisme yang semakin menggurita telah ‘memperkosa’ setiap aspek kehidupan hingga mengikis lokal yang sebenarnya pantas untuk dilestarikan. Untuk menyikapinya, setiap orang harus mengambil sikap kritis dalam memandang dunia ini, dan hindari sikap “take for granted alias menerima begitu saja”, dengan begitu diharapkan warisan kita yang diturunkan tanpa surat wasiat” ini akan dapat terjaga dan tidak tergilas oleh roda zaman.

0 komentar:

Posting Komentar